Di Blikkiesdorp, Piala Dunia Kehilangan Makna

http://www.serambinews.com/news/view/34125/di-blikkiesdorp-piala-dunia-kehilangan-makna

Di Blikkiesdorp, Piala Dunia Kehilangan Makna

BLIKKIESDORP memang tak ada dalam peta Afrika Selatan. Karena, itu bukan nama kota ataupun lokasi wisata. Blikkiesdorp hanyaklah sebuah barak penampungan sementara kaum marginal, layaknya shelter korban tsunami di Aceh. Nama formalnya adalah Temporary Relocation Area (TRA) atau kawasan relokalisasi sementara. Tapi para penghuni barak alergi dengan nama ‘mentereng’ itu dan lebih suka menyebutnya dengan nama Blikkiesdorp atau Kampung Kaleng’, karena memang seluruh struktur bangunan seluas 6 x 3 meter tersebut, baik dinding maupun atapnya terbuat dari seng. Di siang hari yang terik, rumah-rumah kaleng itu serasa sangat panas. Tubuh bak terpanggang api. Konon lagi lokasi pemukiman ini berdiri di atas tanah berpasir yang tandus. Tak ada pepohonan apapun di dekat situ.

Pemukiman yang berjarak 20 kilometer dari Kota Cape Town ini awalnya diperuntukkan bagi warga kota yang kena gusur akibat adanya pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2010. Sambil menanti selesainya pembangunan rumah permanen, mereka diminta tinggal dulu di TRA. Blikkiesdorp dibangun pertamakali tahun 2007 oleh Pemkot Cape Town, saat itu masih dijabat Wali Kota Helen Zille. Pemkot setempat kabarnya mengeluarkan dana sekitar 30 juta Rand (sekitar 3,6 milyar rupiah) untuk relokalisasi warga pinggiran tersebut. Awalnya, khusus diperuntukkan bagi warga dari kawasan Athlone, Symphoni Way, Salt River dan Woodstock, yang kena gusur akibat adanya pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2010. Jumlahnya tak sampai seribuan orang. Tapi sekarang ini penghuninya sudah mencapai 15.000 orang!

Penghuninya pun kini makin beragam, dari gembel, gelandangan, pengemis, pengangguran, hingga tunawisma. Suasana makin tak nyaman, akibat kriminalitas kian tingg. Belum lagi, tinggal berhimpit-himpitan dalam barak yang berjumlah sekitar 1500 buah itu. Ditambah lagi fasilitas listrik, air dan toilet umum sangat terbatas. Sebagian warga mengaku mulai frustasi, tak tahan lagi tinggal di Blikkiesdorp.

“Barak ini lebih mirip kamp konsentrasi. Dikelilingi pagar kawat berduri, pakai lampu sorot, pintu masuk dijaga satuan polisi pengaman. Penghuninya diawasi secara ketat dan berlaku jam malam. Layaknya kami ini narapidana saja,” ujar Abahlali Mjondolo, salah satu penghuni Blikkiesdorp. “Lokasinya sangat jauh dari pusat kota, tempat kerja dan juga sekolah,” sambung Mjondolo. “Mereka mengusir gembel jalanan, gelandangan dan pengemis yang tinggal di gubuk-gubuk kumuh dan menumpuknya disini, semata-mata agar kota tampak indah selama Piala Dunia,” sergah Mohammed Ali, salah seorang penghuni yang tempat tinggalnya kena gusur.

“Afsel mengeluarkan dana trilyunan untuk Piala Dunia. Kenapa mereka tidak memanfaatkan uang sebesar itu untuk membangun rumah bagi warga miskin?” umpat Beverley Jacobs yang telah menetap di barak berukuran 18 meter persegi itu sejak tiga tahun lalu. Penghuni lainnya, Priscilla Ludidi tinggal bersama empat anaknya ditemani sang ibu yang telah berusia 82 tahun. Mereka tidur berhimpit-himpitan di kasur yang terhampar di atas lantai. Sebagian bangunannya bahkan ada yang sudah bocor. “Awalnya pemerintah kota menjanjikan bahwa kami disini cuma 3-6 bulan. Tapi nyatanya sudah tahunan kami disini. Mereka telah membohongi kami,” keluh Ludidi, yang juga korban kena gusur. “Ini bukan rumah. Kami dipaksa pindah kemari. Tapi gimana lagi, kami tak punya pilihan lain. Entah kapan bisa pindah ke rumah yang dijanjikan,” keluh Washeila. Smith (57).

Namun ada juga yang merasa nyaman hidup di Blikkiesdorp. James Adam dan Rina Kiwido misalnya, yang masuk barak September 2009 silam. Bagi mereka bisa tinggal di Blikkiesdorp adalah berkah. Betapa tidak, dulunya Adam dan Kiwido adalah homeless alias gelandangan yang tinggal di gubuk-gubuk kumuh dekat Stadion Green Point. Warga seperti Adam ini sangat dominan di Kampung Kaleng. Makanya mereka maklum saja ketika gubuk derita mereka digusur pas Piala Dunia. Sebagian penghuni malah ada yang merenovasi sendiri barak mereka agar layak huni. Xolani Bokolo, misalnya, menyulap gubuknya hingga terkesan mewah. Dinding bagian dalam telah dicat. Lalu antara kamar tidur dengan ruang keluarga diberi sekat pembatas. Untuk menghindari masuknya debu lewat seng, Bokolo menempelkan kertas kardus di sisi bagian dalam. Sebelumnya, dia terkadang sulit tidur pada malam hari karena terpaan debu yang sangat tebal.

Bagaimana dengan kebutuhan harian? Beberapa warga memanfaatkan ruang kecil di barak untuk berdagang. Warung kopi juga ada. Setidaknya ada sekitar enam kios disitu. “Semua kebutuhan tersedia. Dari roti, gula, minyak goreng, susu bubuk, dan kebutuhan lainnya. Harganya terjangkau. Dari 1 Rand (sekitar 1200 rupiah) hingga 10 Rand,” sebut Janine Schoeman, seorang ibu rumah tangga yang mengaku sehari-hari dia belanja tidak sampai 10 Rand. “Sebagian besar warga ingin pindah. Tempat ini sudah penuh dengan kriminalitas, dari perampok hingga pengguna narkoba. Kita tidak ingin anak-anak tumbuh di lingkungan seperti itu,” keluh Ashraf Cassiem, salah seorang aktifis Kelompok anti-Penggusuran seperti dikutip Daily Voice menyikapi keluhan warga ‘Kampung Kaleng’.

Begitulah, kini muncul nada miring yang menuduh Blikkiesdorp sebagai tempat untuk penampungan gelandangan dan pengemis di pusat kota agar pemerintah dapat menyembunyikan wajah kemiskinan Afsel dari mata turis asing. Terutama selama Piala Dunia berlangsung. Nasib..nasib!(zulkarnaen jalil)